NIKAH YANG TERLARANG DALAM ISLAM (Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas)

Allah tidak membiarkan para hamba-Nya hidup tanpa aturan. Bahkan dalam masalah pernikahan, Allah dan Rasul-Nya menjelaskan berbagai pernikahan yang dilarang dilakukan. Oleh karenanya, wajib bagi seluruh kaum muslimin untuk menjauhinya.

[1]. Nikah Syighar
Definisi nikah ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

“Artinya : Nikah syighar adalah seseorang yang berkata kepada orang lain, ‘Nikahkanlah aku dengan puterimu, maka aku akan nikahkan puteriku dengan dirimu.’ Atau berkata, ‘Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu, maka aku akan nikahkan saudara perempuanku dengan dirimu” [1]

Dalam hadits lain, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Tidak ada nikah syighar dalam Islam” [2]

Hadits-hadits shahih di atas menjadi dalil atas haram dan tidak sahnya nikah syighar. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan, apakah nikah tersebut disebutkan mas kawin ataukah tidak [3].



[2]. Nikah Tahlil
Yaitu menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita yang sudah ditalak tiga oleh suami sebelumnya. Lalu laki-laki tersebut mentalaknya. Hal ini bertujuan agar wanita tersebut dapat dinikahi kembali oleh suami sebelumnya (yang telah mentalaknya tiga kali) setelah masa ‘iddah wanita itu selesai.

Nikah semacam ini haram hukumnya dan termasuk dalam perbuatan dosa besar. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat muhallil [4] dan muhallala lahu [5] [ ]



[3]. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah disebut juga nikah sementara atau nikah terputus. Yaitu menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita dalam jangka waktu tertentu; satu hari, tiga hari, sepekan, sebulan, atau lebih.

Para ulama kaum muslimin telah sepakat tentang haram dan tidak sahnya nikah mut’ah. Apabilah telah terjadi, maka nikahnya batal!

Telah diriwayatkan dari Sabrah al-Juhani radhiyal-laahu ‘anhu, ia berkata.

“Artinya : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan kami untuk melakukan nikah mut’ah pada saat Fathul Makkah ketika memasuki kota Makkah. Kemudian sebelum kami mening-galkan Makkah, beliau pun telah melarang kami darinya (melakukan nikah mut’ah)” [7]

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya aku pernah mengijinkan kalian untuk bersenang-senang dengan wanita (nikah mut’ah selama tiga hari). Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal tersebut (nikah mut’ah) selama-lamanya hingga hari Kiamat” [8]



[4]. Nikah dalam masa ‘iddah.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa ‘iddahnya” [Al-Baqarah : 235]



[5]. Nikah dengan wanita kafir selain Yahudi dan Nasrani [9].
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : Dan janganlah kaum nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke Neraka, sedangkan Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” [Al-Baqarah : 221]



[6]. Nikah dengan wanita-wanita yang diharamkan karena senasab atau hubungan kekeluargaan karena pernikahan.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perem-puanmu, ibu-ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuan yang satu susuan denganmu, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak perempuan dari isterimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum mencampurinya (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa atasmu (jika menikahinya), (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [An-Nisaa' : 23]



[7]. Nikah dengan wanita yang haram dinikahi di-sebabkan sepersusuan, berdasarkan ayat di atas.



[8]. Nikah yang menghimpun wanita dengan bibinya, baik dari pihak ayahnya maupun dari pihak ibunya.

Berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

“Artinya : Tidak boleh dikumpulkan antara wanita dengan bibinya (dari pihak ayah), tidak juga antara wanita dengan bibinya (dari pihak ibu)”[10]



[9]. Nikah dengan isteri yang telah ditalak tiga.
Wanita diharamkan bagi suaminya setelah talak tiga. Tidak dihalalkan bagi suami untuk menikahinya hingga wanitu itu menikah dengan orang lain dengan pernikahan yang wajar (bukan nikah tahlil), lalu terjadi cerai antara keduanya. Maka suami sebelumnya diboleh-kan menikahi wanita itu kembali setelah masa ‘iddahnya selesai.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : Kemudian jika ia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum ia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas isteri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.” [Al-Baqarah : 230]

Wanita yang telah ditalak tiga kemudian menikah dengan laki-laki lain dan ingin kembali kepada suaminya yang pertama, maka ketententuannya adalah keduanya harus sudah bercampur (bersetubuh) kemudian terjadi perceraian, maka setelah ‘iddah ia boleh kembali kepada suaminya yang pertama. Dasar harus dicampuri adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,

“Artinya : Tidak, hingga engkau merasakan madunya (ber-setubuh) dan ia merasakan madumu”[11]



[10]. Nikah pada saat melaksanakan ibadah ihram.
Orang yang sedang melaksanakan ibadah ihram tidak boleh menikah, berdasarkan sabda Nabi shallal-laahu ‘alaihi wa sallam:

“Artinya : Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah atau melamar”[12]



[11]. Nikah dengan wanita yang masih bersuami.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami…” [An-Nisaa' : 24]



[12]. Nikah dengan wanita pezina/pelacur.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin.” [An-Nuur : 3]

Seorang laki-laki yang menjaga kehormatannya tidak boleh menikah dengan seorang pelacur. Begitu juga wanita yang menjaga kehormatannya tidak boleh menikah dengan laki-laki pezina. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rizki yang mulia (Surga).” [An-Nuur : 26]

Namun apabila keduanya telah bertaubat dengan taubat yang nashuha (benar, jujur dan ikhlas) dan masing-masing memperbaiki diri, maka boleh dinikahi.

Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma pernah berkata mengenai laki-laki yang berzina kemudian hendak menikah dengan wanita yang dizinainya, beliau berkata, “Yang pertama adalah zina dan yang terakhir adalah nikah. Yang pertama adalah haram sedangkan yang terakhir halal”[13]



[13]. Nikah dengan lebih dari empat wanita.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat…” [An-Nisaa' : 3]

Ketika ada seorang Shahabat bernama Ghailan bin Salamah masuk Islam dengan isteri-isterinya, sedangkan ia memiliki sepuluh orang isteri. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memilih empat orang isteri, beliau bersabda,

“Artinya : Tetaplah engkau bersama keempat isterimu dan ceraikanlah selebihnya”[14]

Juga ketika ada seorang Shahabat bernama Qais bin al-Harits mengatakan bahwa ia akan masuk Islam sedangkan ia memiliki delapan orang isteri. Maka ia mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan keadaannya. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Artinya : Pilihlah empat orang dari mereka”[15]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]


__________
Foote Note
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1416) dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1415 (60)) dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma. Diriwayatkan juga oleh Ahmad (III/165), al-Baihaqi (VII/200), Ibnu Hibban (no. 4142) dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Shahiihul Jaami’ (no. 7501).
[3]. Lihat al-Wajiiz (hal. 296-297) dan al-Mausuu’ah Fiqhiyyah al-Muyassarah (hal. 53-56)
[4]. Muhallil adalah seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita atas suruhan suami sebelumnya yang telah mentalaknya tiga kali. Hal ini bertujuan agar mantan suami itu dapat menikahi wanita tersebut setelah masa ‘iddahnya selesai.
[5]. Muhallala lahu adalah seorang suami yang telah mentalak tiga isterinya kemudian menyuruh seorang laki-laki untuk menikahi mantan isterinya lalu mentalaknya agar ia dapat menikahi mantan isterinya kembali setelah masa ‘iddahnya selesai.
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2076), at-Tirmidzi (no. 1119), Ibnu Majah (no. 1935), dari Shahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Shahiihul Jaami’ (no. 1501), lihat juga al-Wajiiz (hal. 297-298) dan al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah (hal. 49-52).
[7]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1406 (22)).
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1406 (21)), dari Shahabat Sabrah al-Juhani radhiyallaahu ‘anhu. Lihat al-Wajiiz (hal. 298) dan Mausuu’ah al-Fiqhiyyah (hal. 47-49).
[9]. Menikah dengan wanita Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) diboleh-kan berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Maa-idah ayat 5.
[10]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5108), Muslim (no. 1408), at-Tirmidzi (no. 1126), an-Nasa-i (VI/96), Abu Dawud (no. 2065), Ahmad (II/401, 423, 432, 465), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5317), Muslim (no. 1433), at-Tirmidzi (no. 1118), an-Nasa-i (VI/94) dan Ibnu Majah (no. 1932).
[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1409), at-Tirmidzi (no. 840) dan an-Nasa-i (V/192), dari Shahabat ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallaahu ‘anhu.
[13]. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi (VII/155). Lihat Adabul Khitbah waz Zifaf (hal. 29-30).
[14]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1128), Ibnu Majah (no. 1953), al-Hakim (II/192-193), al-Baihaqi (VII/149, 181) dan Ahmad (II/44).
[15]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2241), Ibnu Majah (no. 1952), dan al-Baihaqi (VII/183). Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Silsilah ash-Shahiihah (no. 1885)

INDAHNYA UCAPAN INI

"Adapun manusia maka sebagaian mencintai sebagian yang lain dikarenakan yang dicintainya itu sebagai penyebab datangnya kebaikan kepada dia dan jiwa manusia telah diberi naluri untuk cinta kepada orang yang telah berbuat baik kepadanya, akan tetap ihal ini hakekatnya adalah cinta kepada kebaikan bukan cinta kepada orang yang telah berbuat baik kepadanya, buktinya kalau ia stop kebaikan kepadanya cintanya akan melemah, bahkan bisa berbalik menjadi kebencian, hal ini sesungguhnya bukan cinta karena Allah.Sesungguhnya siapa saja yang mencintai orang lain dikarenakan ia memberinya, maka ia hanya cinta kepada pemberian, apabila ia berkata sesungguhnya ia cinta kepada orang yang memberinya itu karena Allah maka dia telah berdusta, ucapan palsu dan mustahil,begitu pula siapa saja yang mencintai orang lain dikarenakan ia menolongnya maka ia hanya cinta kepada pertolongan. Ini dikarenakan ia menolongnya maka ia hanya cinta kepada pertolongan. Ini semua termasuk mengikuti hawa nafsu, karena pada hakekatnya ia cinta hanya kepada apa yang sampai kepada dia berupa mendapatkan manfaat atau terhindarnya dari suatu mudharat, maka dia hanya cinta kepada manfaat atau terhindarnya dari mudharat, sesungguhnya ia cinta kepada orang itu karena orang tersebut merupakan sarana untuk mencapai apa yang ia cintai, jadi ini bukan cinta karena Allah dan ia tidak cinta kepada orang tadi.Pada umumnya percintaan antara manusia sebagian terhadap yang lain berlangsung atas yang demikian, kalau begitu mereka tidak akan diberi ganjaran di akhirat dan percintaannya tidak memberi manfaat kepada mereka, bahkan mungkin percintaan itu menyebabkan kepada kemunafikan dan sikap hipokrit. Mereka itu diakhirat menjadi musuh sebagian terhadap yang lain, padahal sebelumnya adalah orang-orang bersahabat. Hanya saja yang bermanfaat bagi mereka di akhirat adalah cinta di jalan Allah dan karena Allah. Adapun orang yang mengharapkan manfaat dan pertolongan, kemudian dia mengaku bahwa dia mencintainya karena Allah, maka ini muncul dari kejahatan jiwa dan kemunafikan ucapan."(Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Majmu'Fatawa (juz 10 hal. 609-610)

RENUNGAN

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya “Al-Fawaaid”, dimana beliau berkata,
’Marilah masuk ke surga Allah…serta berdekatan denganNya di Negeri Keselamatan…tanpa ada letih…tanpa ada kesulitan…dan tanpa ada susah payah…bahkan melalui jalan yang terdekat dan yang termudah…’

’Sesungguhnya, engkau saat ini sedang berada pada satu masa di antara dua masa…dan pada hakikatnya masa itu adalah umurmu…yaitu dimana saat ini engkau ada…di antara masa yang telah lalu dan masa yang akan datang…’

Adapun masa yang telah lalu…maka ia diperbaiki dengan taubat, penyesalan serta permohonan ampun…dan itu bukanlah sesuatu yang sulit bagimu…serta tidak memerlukan amal-amal yang berat…karena sesungguhnya ia hanyalah amalan hati…’

’Dan pada masa yang akan datang…berusahalah menjauhi dosa-dosa…
dan usahamu untuk menjauhi dosa itu adalah hanya berupa usaha untuk  meninggalkan dan bukanlah ia merupakan amalan anggota badan yang menyusahkanmu karena sesungguhnya ia hanyalah berupa kesungguhan serta niat yang kuat…yang akan menyenangkan jasadmu, hatimu serta rahasia-rahasiamu…’

“Apa yang terjadi pada masa lalu, diperbaiki dengan taubat…dan di masa mendatang diperbaiki dengan penghindaran (dari yang haram) dengan kesungguhan serta niat… dan tidak ada kesusahan bagi anggota tubuh atas dua usaha ini.”

“Akan tetapi, yang terpenting dalam masa kehidupanmu adalah masa di antara dua masa (yaitu dimana saat ini engkau berada). Jika engkau menyia-nyiakannya maka engkau telah menyia-nyiakan kebahagiaan dan kesuksesanmu. Namun, jika engkau menjaganya dengan perbaikan dua masa, yaitu masa sebelum dan sesudahnya, dengan cara yang telah disebutkan…maka engkau akan selamat dan menang dengan mendapatkan kelapangan, kelezatan serta kenikmatan…”

SURAT IBU UNTUKMU

wahai anaku…
kutulis risalah ini…dari tangan seorang ibu yang merana…
yang ditulisnya dengan rasa malu…dalam kegelisahan dan lamanya penantian…
lama dipegangnya pena ini…hingga berlinanglah air mata…
wahai anaku..!
telah senja kini usia ibu dan aku telah mehilat dirimu kini telah beranjak dewasa…
telah sempurna akal dan telah matang fikiranmu…
anakku
diantara hak ibu…sudi kiranya engaku membaca suratku ini, namun bila enggan wahai anakku…
robeklah suratku ini sebagaimana engkau telah merobek-robek hati ibumu ini…
wahai anakku
15 tahun yang silam kebahagiaan paling besar kurasakan dalam hidupku…!
tatkala dokter mengabarkan kehamilanku…
dan setiap ibu wahai anakku…
sungguh telah mengetahui makna kalimat ini dengan baik…
sungguh itu merupakan kebahagiaan dan kegembiraan…
dan mulainya awal kepayahan dan perubahan dalam tubuhku…
setelah berita kegembiraan ini…
ibu mengandungmu selama 9 bulan dengan penuh kebahagiaan, aku bangkit, tidur dan makan dengan penuh kesulitan…dan akupun bernafas dengan kepayahan…
namun…
semua kesulitan dan kepayahan ini tidak mengurangi sedikitpun rasa cintaku padamu dan sayangku padamu…
bahkan cinta kasihku semakin bertambah padamu, dengan berjalannya waktu kian bertambah besar rasa rinduku menanti kehadiranmu….
aku mengandungmu anakku dengan penuh kepayahan…
dan rasa sakit yang tiada terkira…
betapa gembiranya diriku tatkala kurasakan pergerakanmu…
dan bertambah pula kebahagianku tatkala kurasakan bertambahnya berat tubuhmu yang tentunya membuat berat bagi diriku…
sungguh inilah kepayahan yang panjang kurasakan…
datang malam-malam dimana aku tak dapat tertidur….
dan kedua mataku pun tak kuasa tuk kupejamkan…
anakku…
kurasakan rasa sakit, kegelisahan, dan rasa takut yang mencekam yang takbisa ku ungkapkan dengan pena ini…
dan ku katakan dengan ungkapan lisan…hingga aku melihat dengan kedua mataku seakan-akan kematian akan menjemput diriku sampai akhirnya…
kamu terlahir kedunia…
air mata kepdihanku terpancar bersamaan dengan jerit tangismu…
hilanglah semua rasa sakit dan kepedihan…
wahai anakku…
telah berlalu masa-masa dimana aku meninabobokan mu didadaku..
dan aku mandikan dirimu dengan kedua tangan ku…
kujadikan pangkuanku sebagai ranjang bagimu dan susuanku sebagai makan untukmu…
aku terjaga sepanjang malam agar kamu dapat tertidur pulas…
dan aku berlelah diri disiang hari untuk kebahagiaan dirimu…
kebahagiaanku…tatkala kamu meminta sesuatu pada ibu dan segera kupenuhi pintamu…
itulah puncak tertinggi kebhagianku…
telah lewat malam-malam dan telah berlalu hari demi hari…
demikian kulakukan semua itu untuk kebahagiaanmu…
melayanimu sepenuhnya dan tidak melalaikanmu, menyusuimu tiada henti-hentinya dan merawatmu tanpa ada raa kebosanan hingga bertambah besar tubuhmu…
dan tibalah waktu pernikahanmu yang membuat sedih hatiku…
berlinang air mataku karena kebahagiaan dengan lembaran hidup baru mu…
bercampur duka yang dalam karena akan berpisah dengan mu…
kemudian tibalah masa-masa yang amat berat bagi diriku..
dimana kurasakan…
dirimu kini bukanlah buah hati yang dahulu kukenal…
sungguh engkau telah mengingkari diriku…
melupakan hak-hak ku…
hari terus berlalu dan tidak pernah lagi kulihat dirimu, tidak pernah kudengar lembut suaramu..
apakah kamu lupa kepada seorang wanita yang telah memliharamu dengan penuh rasa cinta…!
wahai anakku..
aku tidak menuntut apa-apa darimu...
jadikanlah diriku layaknya sahabat yang kamu miliki…
jadikanlah diriku wahai buah hatiku salah satu tempat persinggahanmu yang senantiasa kamu kunjungi setiap bulan walau hanya sesaat…
aku tidak mampu berdiri melainkan dengan kesulitan dan aku tidak mampu untuk duduk melainkan dengan kepayahan dan senantiasa hati ini dipenuhi dengan rasa rindu akan cinta dan sayangmu…
apabila suatu saat ada orang yang memuliakan dirimu,,niscaya kamu akan memujinya karena perlakuannya terhadap dirimu, dan kebaikan sikapnya pada dirimu
dan ibumu ini wahai anakku…
lebih banyak berbuat kebaikan pada dirimu dan berlaku ma’ruf padamu hingga tidak dapat dibalas dengan apapun jua..!
ibu telah merawatmu, melayani semua kebutuhanmu bertahun-tahun lamanya..manakah balasanmu?? apakah setelah semua ini…hatimu menjadi keras?? dan berlalunya waktu kian membuat dirimu jauh ..!
anakku…
acap kali aku mengetahui kamu bahagia dalam hidupmu, bertambah pula kebahagiaan dan kegembiraanku, namun betapa herannya ibu pada dirimu anakku…
yang telah kubesarkan dengan belaian kedua tanganku..!
dosa apakah yang telah kuperbuat hingga aku menjadi musuh bagimu..!
engkau tidak mau menjengukku, beratkah langkah kakimu untuk mengunjungiku??
apakah aku melakukan suatu kesalahan pada dirimu?? ataukah aku telah melakukan kelalaian dalam melayanimu??
jadikanlah diriku layaknya pelayan-pelayanmu yang engkau berikan upah kepada mereka??
berikanlah aku sedikit saja dari rasa belas kasih dan sayang mu…
berbuat baiklah pada diriku wahai anakku…
karena sesungguhnya Allah akan memberikan balasan orang yang berbuat baik…
wahai anakku…
tidak ada yang ku inginkan didunia ini selain melihat wajahmu..
tidak ada yang ku inginkan selain itu…biarkanlah aku menatap wajahmu…meredakan amarahmu…
wahai anakku…
bergetar keras degub jantungku, berlinang deras air mataku..
melihat dirimu hidup bahagia tercukupi…senantiasa manusia memperbincangkan akan kebaikanmu, kedermawanan dan kemulianmu..
wahai anakku..
apakah kiranya hatimu masih memiliki seberkas rasa belas kasih terhadap seorang wanita yang renta dan lemah ini?? yang hatinya diliputi dengan kerinduan dan diselimuti dengan kesedihan…kamu telah membuat duka hatinya, membuat ai rmatanya berlinang, hancur hatinya dan terputusnya hubungan..
aku tidak akan mengadukan kepedihan ini, dan belum terhapus kedukaan ini, karena bila naik menembus awan-awan dan mengetuk pintu-pintu langit niscaya bala akan datang padamu, berbagai keburukan menghampirimu dan musibah besar akan menimpamu…
tidak!! tidak akan mungkin aku lakukan hal tersebut..
wahai anakku,
kamu akan senantiasa menjadi buah hatiku penyejuk pandanganku dan kebahagiaan duniaku..
sadarlah anakku..
rambut putihmu mulai tampak, telah berlalu waktu dan masa yang panjang menjadikan dirimu mulai menua anakku..bukankah balasan itu sesuai dengan perbuatan!!!
niscaya kamu akan menulis surat ini kepada anakmu dengan linangan air mata sebagaimana aku menulis surat ini untukmu…
wahai anakku..
takutlah kepada Allah…
hentikanlah tangisnya,hapus lah kedukaanya. setelah itu jika kau inginkan sobeklah suratnya…
dan ketahuilah anakku......
“barang siapa yang mengamalkan kebaikan maka kebaikan itu untuknya dan barang siapa berbuat keburukan maka keburukan itu akan kembali padanya”