STUDY PANAS BUMI MARONGE SUMBAWA


INTERNATIONAL CONFERENCE ON MATHEMATICS, SCIENCES AND EDUCATION (INNOVATION AND ADVANCES IN MATHEMATICS, SCIENCES AND EDUCATION FOR 21th CENTURY CHALLENGES), LOMBOK, 4 - 5 NOVEMBER 2015






KONSEP-KONSEP DAN HUKUM-HUKUM DALAM GEOLOGI

      Untuk dapat memahami ilmu geologi, pemahaman tentang konsep-konsep dan hukum-hukum dalam ilmu geologi sangatlah penting dan merupakan dasar dalam mempelajari ilmu geologi. Adapun hukum dan konsep geologi yang menjadi acuan dalam geologi antara lain adalah konsep tentang susunan, aturan dan hubungan antar batuan dalam ruang dan waktu. Pengertian ruang dalam geologi adalah tempat dimana batuan itu terbentuk sedangkan pengertian waktu adalah waktu pembentukan batuan dalam skala waktu geologi. Konsep uniformitarianisme (James Hutton), hukum superposisi (Steno), konsep keselarasan dan ketidakselarasan, konsep transgresiregresi, hukum potong memotong (cross cutting relationship) dan lainnya.

Doktrin Uniformitarianisme
     James Hutton (1785) : Sejarah ilmu geologi sudah dimulai sejak abad ke 17 dan 18 dengan doktrin katastrofisme yang sangat populer. Para penganutnya percaya bahwa bentuk permukaan bumi dan segala kehidupan diatasnya terbentuk dan musnah dalam sesaat akibat suatu bencana (catastroph) yang besar. James Hutton, bapak geologi modern, seorang ahli fisika Skotlandia, pada tahun 1795 menerbitkan bukunya yang berjudul “Theory of the Earth”, dimana ia mencetuskan doktrinnya yang terkenal tentang Uniformitarianism.
    Uniformitarianisme merupakan konsep dasar geologi modern. Doktrin ini menyatakan bahwa hukum-hukum fisika, kimia dan biologi yang berlangsung saat ini berlangsung juga pada masa lampau. Artinya, gaya-gaya dan proses-proses yang membentuk permukaan bumi seperti yang kita amati saat ini telah berlangsung sejak terbentuknya bumi. Doktrin ini lebih terkenal sebagai “The present is the key to the past” dan sejak itulah orang menyadari bahwa bumi selalu berubah. Dengan demikian jelaslah bahwa geologi sangat erat hubungannya dengan waktu. Pada tahun 1785, Hutton mengemukakan perbedaan yang jelas antara hal yang alami dan asal usul batuan beku dan sedimen. James Hutton berhasil menyusun urutan intrusi yang menjelaskan asal usul gunungapi. Dia memperkenalkan hukum superposisi yang menyatakan bahwa pada tingkatan yang tidak rusak, lapisan paling dasar adalah yang paling tua. Ahli paleontologi telah mulai menghubungkan fosil-fosil khusus pada tingkat individu dan telah menemukan bentuk pasti yang dinamakan indek fosil. Indek fosil telah digunakan secara khusus dalam mengidentifikasi horison dan hubungan suatu tempat dengan tempat lainnya.
   William Smith (1769-1839): Mengemukakan suatu konsep yang diterapkan pada perulangan lapisan-lapisan batuan sedimen yang ada di Inggris. Smith telah membuktikan bahwa dalam perioda waktu yang sama akan terjadi perulangan lapisan batuan yang sama dan setiap formasi pada lapisan batuan akan mempertlihatkan karakter yang sama. Berdasarkan hal tersebut, Smith mengajukan suatu konsep yang dikenal dengan hukum suksesi fauna.

Hukum Superposisi (Nicholas Steno)
  1. Horizontalitas (Horizontality) : Kedudukan awal pengendapan suatu lapisan batuan adalah horisontal, kecuali pada tepi cekungan memiliki sudut kemiringan asli (initial-dip) karena dasar cekungannya yang memang menyudut.
  2. Superposisi (Superposition) : Dalam kondisi normal (belum terganggu), perlapisan suatu batuan yang berada pada posisi paling bawah merupakan batuan yang pertama terbentuk dan tertua dibandingkan dengan lapisan batuan diatasnya.
  3. Kesinambungan Lateral (Lateral Continuity) : Pelamparan suatu lapisan batuan akan menerus sepanjang jurus perlapisan batuannya. Dengan kata lain bahwa apabila pelamparan suatu lapisan batuan sepanjang jurus perlapisannya berbeda litologinya maka dikatakan bahwa perlapisan batuan tersebut berubah facies. Dengan demikian, konsep perubahan facies terjadi apabila dalam satu lapis batuan terdapat sifat, fisika, kimia, dan biologi yang berbeda satu dengan lainnya.
Keselarasan dan Ketidakselarasan (Conformity dan Unconformity)
  • Keselarasan (Conformity): adalah hubungan antara satu lapis batuan dengan lapis batuan lainnya diatas atau dibawahnya yang kontinyu (menerus), tidak terdapat selang waktu (rumpang waktu) pengendapan. Secara umum di lapangan ditunjukkan dengan kedudukan lapisan (strike/dip) yang sama atau hampir sama, dan ditunjang di laboratorium oleh umur yang kontinyu.
  • Ketidak Selarasan (Unconformity): adalah hubungan antara satu lapis batuan dengan lapis batuan lainnya (batas atas atau bawah) yang tidak kontinyu (tidak menerus), yang disebabkan oleh adanya rumpang waktu pengendapan. Dalam geologi dikenal 3 (tiga) jenis ketidak selarasan, yaitu 

  1. Disconformity adalah salah satu jenis ketidakselarasan yang hubungan antara satu lapis batuan (sekelompok batuan) dengan satu batuan lainnya (kelompok batuan lainnya) yang dibatasi oleh satu rumpang waktu tertentu (ditandai oleh selang waktu dimana tidak terjadi pengendapan).
  2. Angular Unconformity (Ketidakselarasan Bersudut) adalah salah satu jenis ketidakselarasan yang hubungan antara satu lapis batuan (sekelompok batuan) dengan satu batuan lainnya (kelompok batuan lainnya), memiliki hubungan/kontak yang membentuk sudut.
  3. Nonconformity adalah salah satu jenis ketidakselarasan yang hubungan antara satu lapis batuan (sekelompok batuan) dengan satu batuan beku atau metamorf.

Genang laut dan Susut laut (Transgresi dan Regresi )
  • Transgresi (Genang Laut) : Transgresi dalam pengertian stratigrafi / sedimentologi adalah laju penurunan dasar cekungan lebih cepat dibandingkan dengan pasokan sedimen (sediment supply). Garis pantai maju ke arah daratan.
  • Regresi (Susut Laut) : Regresi dalam pengertian stratigrafi/sedimentologi adalah laju penurunan dasar cekungan lebih lambat dibandingkan dengan pasokan sedimen (sediment supply). Garis pantai maju ke arah lautan.
Hubungan potong memotong (Cross-cutting relationships)
      Hubungan petong-memotong (cross-cutting relationship) adalah hubungan kejadian antara satu batuan yang dipotong/diterobos oleh batuan lainnya, dimana batuan yang dipotong/diterobos terbentuk lebih dahulu dibandingkan dengan batuan yang menerobos.
    Pada gambar terlihat urutan kejadian dan umur batuan adalah sebagai berikut: batuan yang terbentuk/terendapkan pertama kali adalah Formasi (Fm) Lutgrad, selanjutnya berturutturut adalah Fm Birkland, Fm. Leet Junction. Ketiga formasi batuan tersebut kemudian mengalami orogenesa disertai terbentuknya batuan terobosan (Intrusi) Granit dan kemudian tererosi membentuk bidang ketidak selarasan bersudut dan dilanjutkan dengan pengendapan Fm. Larsonton dan aktivitas magma berupa Intrusi Dike, dilanjutkan dengan pembentukan Fm. Foster City, Fm. Hamlinville, dan batuan termuda dan terakhir terbentuk adalah Skinner Guich Limestone.
Foto singkapan batuan intrusi dyke (warna gelap) memotong batuan samping (warna terang). Intrusi dyke lebih muda terhadap batuan sampingnya.


Sumber : 
Noor, Djauhari. 2009. Pengantar Geologi. Bogor : Fak. Teknik Universitas Pakuan

ENERGI PANAS BUMI (GEOTHERMAL ENERGY)

          Energi panas bumi, adalah energi panas yang tersimpan dalam batuan di bawah permukaan bumi dan fluida yang terkandung didalamnya. Energi panas bumi telah dimanfaatkan untuk pembangkit listrik di Italy sejak tahun 1913 dan di New Zealand sejak tahun 1958. Pemanfaatan energi panas bumi untuk sektor non‐listrik (direct use) telah berlangsung di Iceland sekitar 70 tahun. Meningkatnya kebutuhan akan energi serta meningkatnya harga minyak, khususnya pada tahun 1973 dan 1979, telah memacu negara‐negara lain, termasuk Amerika Serikat, untuk mengurangi ketergantungan mereka pada minyak dengan cara memanfaatkan energi panas bumi. Saat ini energi panas bumi telah dimanfaatkan untuk pembangkit listrik di 24 Negara, termasuk Indonesia. Disamping itu fluida panas bumi juga dimanfaatkan untuk sektor non‐listrik di 72 negara, antara lain untuk pemanasan ruangan, pemanasan air, pemanasan rumah kaca, pengeringan hasil produk pertanian, pemanasan tanah, pengeringan kayu, kertas dll.

Energi Panas Bumi di Indonesia
          Di Indonesia usaha pencarian sumber energi panasbumi pertama kali dilakukan di daerah Kawah Kamojang pada tahun 1918. Pada tahun 1926 hingga tahun 1929 lima sumur eksplorasi dibor dimana sampai saat ini salah satu dari sumur tersebut, yaitu sumur KMJ‐3 masih memproduksikan uap panas kering atau dry steam. Pecahnya perang dunia dan perang kemerdekaan Indonesia mungkin merupakan salah satu alasan dihentikannya kegiatan eksplorasi di daerah tersebut.
          Kegiatan eksplorasi panasbumi di Indonesia baru dilakukan secara luas pada tahun 1972. Direktorat Vulkanologi dan Pertamina, dengan bantuan Pemerintah Perancis dan New Zealand melakukan survey pendahuluan di seluruh wilayah Indonesia. Dari hasil survey dilaporkan bahwa di Indonesia terdapat 217 prospek panasbumi, yaitu di sepanjang jalur vulkanik mulai dari bagian Barat Sumatera, terus ke Pulau Jawa, Bali, Nusatenggara dan kemudian membelok ke arah utara melalui Maluku dan Sulawesi. Survey yang dilakukan selanjutnya telah berhasil menemukan beberapa daerah prospek baru sehingga jumlahnya meningkat menjadi 256 prospek, yaitu 84 prospek di Sumatera, 76 prospek di Jawa, 51 prospek di Sulawesi, 21 prospek di Nusatenggara, 3 prospek di Irian, 15 prospek di Maluku dan 5 prospek di Kalimantan. Sistim panas bumi di Indonesia umumnya merupakan sistim hidrothermal yang mempunyai temperatur tinggi (>225'C), hanya beberapa diantaranya yang mempunyai temperatur sedang (150‐225'C).
       Terjadinya sumber energi panasbumi di Indonesia serta karakteristiknya dijelaskan oleh Budihardi (1998) sebagai berikut:
"Ada tiga lempengan yang berinteraksi di Indonesia, yaitu lempeng Pasifik, lempeng India‐Australia dan lempeng Eurasia. Tumbukan yang terjadi antara ketiga lempeng tektonik tersebut telah memberikan peranan yang sangat penting bagi terbentuknya sumber energi panas bumi di Indonesia."
           Tumbukan antara lempeng India‐Australia di sebelah selatan dan lempeng Eurasia di sebelah utara mengasilkan zona penunjaman (subduksi) di kedalaman 160 ‐ 210 km di bawah Pulau Jawa-Nusatenggara dan di kedalaman sekitar 100 km di bawah Pulau Sumatera. Hal ini menyebabkan proses magmatisasi di bawah Pulau Sumatera lebih dangkal dibandingkan dengan di bawah Pulau Jawa atau Nusatenggara. Karena perbedaan kedalaman jenis magma yang dihasilkannya berbeda. Pada kedalaman yang lebih besar jenis magma yang dihasilkan akan lebih bersifat basa dan lebih cair dengan kandungan gas magmatik yang lebih tinggi sehingga menghasilkan erupsi gunung api yang lebih kuat yang pada akhirnya akan menghasilkan endapan vulkanik yang lebih tebal dan terhampar luas. Oleh karena itu, reservoir panas bumi di Pulau Jawa umumnya lebih dalam dan menempati batuan volkanik, sedangkan reservoir panas bumi di Sumatera terdapat di dalam batuan sedimen dan ditemukan pada kedalaman yang lebih dangkal.
          Sistim panas bumi di Pulau Sumatera umumnya berkaitan dengan kegiatan gunung api andesitisriolitis yang disebabkan oleh sumber magma yang bersifat lebih asam dan lebih kental, sedangkan di Pulau Jawa, Nusatenggara dan Sulawesi umumnya berasosiasi dengan kegiatan vulkanik bersifat andesitis‐basaltis dengan sumber magma yang lebih cair. Karakteristik geologi untuk daerah panas bumi di ujung utara Pulau Sulawesi memperlihatkan kesamaan karakteristik dengan di Pulau Jawa.
           Akibat dari sistim penunjaman yang berbeda, tekanan atau kompresi yang dihasilkan oleh tumbukan miring (oblique) antara lempeng India‐Australia dan lempeng Eurasia menghasilkan sesar regional yang memanjang sepanjang Pulau Sumatera yang merupakan sarana bagi kemunculan sumber-sumber panas bumi yang berkaitan dengan gunung‐gunung api muda. Lebih lanjut dapat disimpulkan bahwa sistim panas bumi di Pulau Sumatera umumnya lebih dikontrol oleh sistim patahan regional yang terkait dengan sistim sesar Sumatera, sedangkan di Jawa sampai Sulawesi, sistim panas buminya lebih dikontrol oleh sistim pensesaran yang bersifat lokal dan oleh sistim depresi kaldera yang terbentuk karena pemindahan masa batuan bawah permukaan pada saat letusan gunung api yang intensif dan ekstensif. Reservoir panas bumi di Sumatera umumnya menempati batuan sedimen yang telah mengalami beberapa kali deformasi tektonik atau pensesaran setidak‐tidaknya sejak Tersier sampai Resen. Hal ini menyebabkan terbentuknya porositas atau permeabilitas sekunder pada batuan sedimen yang dominan yang pada akhirnya menghasilkan permeabilitas reservoir panas bumi yang besar, lebih besar dibandingkan dengan permeabilitas reservoir pada lapangan‐lapangan panas bumi di Pulau Jawa ataupun di Sulawesi.
Sistem Hidrotermal
           Sistim panas bumi di Indonesia umumnya merupakan sistim hidrothermal yang mempunyai temperatur tinggi (>225'C), hanya beberapa diantaranya yang mempunyai temperatur sedang (150‐225'C). Pada dasarnya sistim panas bumi jenis hidrothermal terbentuk sebagai hasil perpindahan panas dari suatu sumber panas ke sekelilingnya yang terjadi secara konduksi dan secara konveksi. Perpindahan panas secara konduksi terjadi melalui batuan, sedangkan perpindahan panas secara konveksi terjadi karena adanya kontak antara air dengan suatu sumber panas. Perpindahan panas secara konveksi pada dasarnya terjadi karena gaya apung (bouyancy). Air karena gaya gravitasi selalu mempunyai kecenderungan untuk bergerak kebawah, akan tetapi apabila air tersebut kontak dengan suatu sumber panas maka akan terjadi perpindahan panas sehingga temperatur air menjadi lebih tinggi dan air menjadi lebih ringan. Keadaan ini menyebabkan air yang lebih panas bergerak ke atas dan air yang lebih dingin bergerak turun ke bawah, sehingga terjadi sirkulasi air atau arus konveksi.
           Adanya suatu sistim hidrothermal di bawah permukaan sering kali ditunjukkan oleh adanya manifestasi panasbumi di permukaan (geothermal surface manifestation), seperti mata air panas, kubangan lumpur panas (mud pools), geyser dan manifestasi panasbumi lainnya, dimana beberapa diantaranya, yaitu mata air panas, kolam air panas sering dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk mandi, berendam, mencuci, masak dll. Manifestasi panasbumi di permukaan diperkirakan terjadi karena adanya perambatan panas dari bawah permukaan atau karena adanya rekahanrekahan yang memungkinkan fluida panasbumi (uap dan air panas) mengalir ke permukaan.
       Berdasarkan pada jenis fluida produksi dan jenis kandungan fluida utamanya, sistim hidrotermal dibedakan menjadi dua, yaitu sistim satu fasa atau sistim dua fasa. Sistim dua fasa dapat merupakan sistem dominasi air atau sistem dominasi uap. Sistim dominasi uap merupakan sistim yang sangat jarang dijumpai dimana reservoir panas buminya mempunyai kandungan fasa uap yang lebih dominan dibandingkan dengan fasa airnya. Rekahan umumnya terisi oleh uap dan pori‐pori batuan masih menyimpan air. Reservoir air panasnya umumnya terletak jauh di kedalaman di bawah reservoir dominasi uapnya. Sistim dominasi air merupakan sistim panas bumi yang umum terdapat di dunia dimana reservoirnya mempunyai kandungan air yang sangat dominan walaupun “boiling” sering terjadi pada bagian atas reservoir membentuk lapisan penudung uap yang mempunyai temperatur dan tekanan tinggi.
           Dibandingkan dengan temperatur reservoir minyak, temperatur reservoir panasbumi relatif sangat tinggi, bisa mencapai 350'C. Berdasarkan pada besarnya temperatur, Hochstein (1990) membedakan sistim panasbumi menjadi tiga, yaitu:
  • Sistim panasbumi bertemperatur rendah, yaitu suatu sistim yang reservoirnya mengandung fluida dengan temperatur lebih kecil dari 125'C.
  • Sistim/reservoir bertemperatur sedang, yaitu suatu sistim yang reservoirnya mengandung fluida bertemperatur antara 125'C dan 225'C.
  • Sistim/reservoir bertemperatur tinggi, yaitu suatu sistim yang reservoirnya mengandung fluida bertemperatur diatas 225'C.
          Sistim panasbumi seringkali juga diklasifikasikan berdasarkan entalpi fluida yaitu sistim entalpi rendah, sedang dan tinggi. Kriteria yang digunakan sebagai dasar klasifikasi pada kenyataannya tidak berdasarkan pada harga entalphi, akan tetapi berdasarkan pada temperatur mengingat entalphi adalah fungsi dari temperatur. Pada Tabel dibawah ini ditunjukkan klasifikasi sistim panas bumi yang biasa digunakan.

Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi
          Sistim panas bumi di Indonesia umumnya merupakan sistim hidrothermal yang mempunyai temperatur tinggi (>225'C), hanya beberapa diantaranya yang mempunyai temperatur sedang (150‐ 225'C). Pengalaman dari lapangan‐lapangan panas bumi yang telah dikembangkan di dunia maupun di Indonesia menunjukkan bahwa sistem panas bumi bertemperatur tinggi dan sedang, sangat potensial bila diusahakan untuk pembangkit listrik. Potensi sumber daya panas bumi Indonesia sangat besar, yaitu sekitar 27500 MWe , sekitar 30‐40% potensi panas bumi dunia.
        Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi (PLTP) pada prinsipnya sama seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), hanya pada PLTU uap dibuat di permukaan menggunakan boiler, sedangkan pada PLTP uap berasal dari reservoir panasbumi. Apabila fluida di kepala sumur berupa fasa uap, maka uap tersebut dapat dialirkan langsung ke turbin, dan kemudian turbin akan mengubah energi panas bumi menjadi energi gerak yang akan memutar generator sehingga dihasilkan energi listrik.
          Apabila fluida panas bumi keluar dari kepala sumur sebagai campuran fluida dua fasa (fasa uap dan fasa cair) maka terlebih dahulu dilakukan proses pemisahan pada fluida. Hal ini dimungkinkan dengan melewatkan fluida ke dalam separator, sehingga fasa uap akan terpisahkan dari fasa cairnya. Fraksi uap yang dihasilkan dari separator inilah yang kemudian dialirkan ke turbin.
          Apabila sumberdaya panasbumi mempunyai temperatur sedang, fluida panas bumi masih dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik dengan menggunakan pembangkit listrik siklus binari (binary plant). Dalam siklus pembangkit ini, fluida sekunder ((isobutane, isopentane or ammonia) dipanasi oleh fluida panasbumi melalui mesin penukar kalor atau heat exchanger. Fluida sekunder menguap pada temperatur lebih rendah dari temperatur titik didih air pada tekanan yang sama. Fluida sekunder mengalir ke turbin dan setelah dimanfaatkan dikondensasikan sebelum dipanaskan kembali oleh fluida panas bumi. Siklus tertutup dimana fluida panas bumi tidak diambil masanya, tetapi hanya panasnya saja yang diekstraksi oleh fluida kedua, sementara fluida panas bumi diinjeksikan kembali kedalam reservoir.
          Masih ada beberapa sistem pembangkitan listrik dari fluida panas bumi lainnya yang telah diterapkan di lapangan, diantaranya: Single Flash Steam, Double Flash Steam, Multi Flash Steam,  Combined Cycle, Hybrid/fossil–geothermal conversion system.